Reformasi Sistem Pemilu, Menuju Demokrasi Pancasila

Demokrasi di Indonesia, sebagaimana yang kita saksikan dua dekade terakhir, telah tergelincir menjadi demokrasi transaksional, atau yang lebih tepat disebut demokrasi cukong.

Pemilu bukan lagi ruang artikulasi rakyat, melainkan panggung perebutan kuasa antar pemilik modal. Partai politik yang seharusnya menjadi rumah ideologi telah bermetamorfosis menjadi kendaraan pragmatis, di mana tiket pencalonan dijual kepada yang mampu membeli, bukan kepada yang pantas memimpin.

Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024 tentang pemisahan pemilu nasional dan daerah akan menghasilkan penguatan oligarki nasional ke daerah. Ini bukan “obat” bagi demokrasi ultra-liberal melainkan bagian dari akselerasi liberalisasi demokrasi itu sendiri.

Gejala ini bukan khas Indonesia. Dalam literatur ilmu politik, kritik terhadap demokrasi liberal sebagai sistem yang hanya menekankan aspek prosedural tanpa substansi telah disuarakan banyak pemikir.

Sheldon Wolin, dalam bukunya Democracy Incorporated: Managed Democracy and the Specter of Inverted Totalitarianism (2008), menyebut demokrasi modern telah menjadi “demokrasi yang dikelola” oleh korporasi dan elite teknokratis, bukan oleh rakyat.

Colin Crouch, dalam Post-Democracy (2004), menyatakan bahwa meskipun ritual demokrasi seperti pemilu masih berlangsung, keputusan-keputusan strategis telah berpindah ke ruang tertutup di mana rakyat tak lagi punya suara.

Di Indonesia, gejala ini muncul dalam bentuk penguasaan partai oleh segelintir elite, kampanye super mahal yang hanya bisa dijangkau oleh oligark, serta kooptasi ruang publik oleh para pemilik media. Maka, demokrasi yang kita jalankan hari ini bukan demokrasi deliberatif yang menghormati hikmat kebijaksanaan, melainkan demokrasi yang dikendalikan oleh algoritma survei, buzzer bayaran, dan kekuatan modal.

Bangsa Indonesia sebenarnya telah memiliki fondasi demokrasi yang khas dan orisinal: demokrasi Pancasila. Ia bukanlah demokrasi liberal Barat yang individualistik, dan bukan pula demokrasi populis yang otoriter.

Demokrasi Pancasila berakar pada nilai-nilai luhur bangsa: gotong royong, musyawarah, keadilan sosial, dan kedaulatan rakyat yang disertai tanggung jawab moral.

Dalam pidato 1 Juni 1945, Soekarno menyebut bahwa dasar negara harus mampu “memadukan individualisme dengan kolektivisme, kebebasan dengan tanggung jawab, nasionalisme dengan internasionalisme.” Dalam kerangka inilah demokrasi Pancasila dirumuskan sebagai demokrasi yang bukan hanya soal pemilihan umum, tetapi juga soal etik politik, pendidikan warga, dan partisipasi yang berkeadaban.

Namun sayangnya, semangat ini ditinggalkan. UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang menjadi kerangka hukum utama pemilihan presiden, DPR, DPD, dan DPRD, justru mengukuhkan sistem proporsional terbuka, yang secara praktik mendorong politik uang dan rivalitas antarpeserta dalam satu partai.

UU No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik pun tidak cukup kuat mengatur kaderisasi dan transparansi internal partai. Bahkan, UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada masih membuka ruang luas bagi kooptasi elite lokal dan jual beli rekomendasi pencalonan.

Alih-alih menjadikan pemilu sebagai perwujudan kedaulatan rakyat, sistem hukum kita justru melanggengkan dominasi oligarki dan kooptasi kekuasaan oleh pemilik sumber daya. Padahal dalam Demokrasi Pancasila, pemimpin idealnya lahir dari musyawarah nilai dan kompetensi, bukan hasil akumulasi logistik dan elektabilitas semu.

Kita tidak sedang kekurangan perangkat hukum, melainkan kekurangan kerangka nilai dan komitmen untuk menegakkan demokrasi yang bermartabat.

Untuk menyelamatkan demokrasi dari kerusakan yang semakin sistemik, maka yang diperlukan bukan hanya perbaikan teknis, tetapi reformasi struktural dan filosofis terhadap sistem pemilu. Reformasi ini adalah upaya mengembalikan demokrasi Indonesia pada akar sejarah dan jiwanya: Pancasila.

Pertama, UU No. 7 Tahun 2017 harus direvisi secara substantif, khususnya pada Pasal 168, agar sistem proporsional terbuka diubah menjadi proporsional tertutup. Dalam sistem ini, partai politik kembali diberi mandat menyusun daftar calon berdasarkan proses internal yang transparan dan berbasis merit. Bukan berdasarkan popularitas, bukan berdasarkan kekuatan modal, tetapi berdasarkan integritas dan pengabdian.

Sistem proporsional tertutup tidak dimaksudkan untuk membatasi partisipasi rakyat, tetapi untuk mengembalikan fungsi partai sebagai lembaga pendidikan politik dan kaderisasi kepemimpinan, sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 22E ayat (3) UUD 1945: “Peserta pemilu adalah partai politik.” Inilah semangat demokrasi Pancasila—demokrasi yang menekankan tanggung jawab kolektif, bukan individualisme tanpa arah.

Kedua, UU No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik juga perlu diperkuat. Kewajiban bagi partai untuk menyelenggarakan pendidikan politik, kaderisasi berbasis nilai, dan transparansi pendanaan harus ditegakkan. Partai bukan pasar saham, bukan biro jasa elektoral, melainkan rumah nilai yang membentuk pemimpin sejati.

Ketiga, sistem pembiayaan politik harus direformasi melalui amandemen pada Pasal 325–338 UU Pemilu. Negara perlu menanggung sebagian biaya kampanye dasar, agar kandidat tak tergantung pada sponsor atau cukong. Dana kampanye harus diaudit publik oleh BPK, dan setiap transaksi harus dilaporkan secara daring secara real-time.

Keempat, penegakan etik dan hukum dalam pemilu harus diperkuat. KPU dan Bawaslu harus diisi oleh figur-figur independen yang dipilih bukan semata oleh DPR, tetapi oleh panitia seleksi nasional yang melibatkan perguruan tinggi dan masyarakat sipil. Sementara DKPP perlu diberi kewenangan untuk membatalkan pencalonan atau membatalkan hasil pemilu bila ditemukan pelanggaran berat secara etik.

Kelima, sistem pemilu harus didukung oleh transparansi total dan digitalisasi penuh, dari logistik, pendanaan, hingga publikasi rekam jejak kandidat. Rakyat berhak tahu siapa yang akan mereka pilih. Demokrasi tidak boleh lagi menjadi arena kegelapan transaksional.

Kini, kita berdiri di tepi jurang antara dua kutub demokrasi: satu yang mengarah ke masa depan Pancasila yang adil dan beradab, satu lagi ke masa depan yang dikuasai korporasi, elite politik, dan algoritma pemusnah nilai.

Jika kita sungguh mencintai Republik ini, maka tak ada jalan lain selain mengembalikan demokrasi kepada rakyat dan akarnya—Pancasila. Itu bukan utopia. Itu adalah panggilan sejarah bangsa!

Bagikan :

Info Mahasiswa

Related Post

Himasasing Mengajak Mahasiswa Memiliki Integritas Untuk Memberantas Korupsi
40 Dosen Unas Ikuti Pelatihan Pemanfaatan Chat Gpt dalam Penelitian
Mahasiswa UNAS Menjadi Delegasi Indonesia dalam Program Persahabatan di Kamboja
UNAS Lakukan Kajian Aspek Sosial Ekonomi dan Lingkungan Program Padi Organik di Tuban dan Bojonegoro
Di Tengah Covid-19, ARSIP Dorong Remaja Tetap Aktif dan Kreatif
Penguatan Implementasi Fatwa MUI No.4 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Satwa Untuk Menjaga Keseimbangan Ekosistem

Kategori Artikel

Berita Terbaru

Jadwal pelaksanaan PLBA T.A 2025/2026

Hari : RABU

SESI : 1

Tanggal : 24 September 2025

Pukul : 07.00 – 12.00 WIB

Auditorium Universitas Nasional

FAKULTAS

  1. FISIP
  2. FAKULTAS BAHASA DAN SASTRA
  3. FAKULTAS TEKNIK DAN SAINS
  4. FAKULTAS TEKNOLOGI  KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA

SESI : 2

Pukul : 13.00 – 16.00 WIB

Tempat : Auditorium Universitas Nasional

FAKULTAS

  1. FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
  2. FAKULTAS HUKUM
  3. FAKULTAS ILMU KESEHATAN
  4. FAKULTAS BIOLOGI DAN PERTANIAN

Tempat : Auditorium Universitas Nasional

Hari : Kamis

Tanggal 25 September 2025

Pukul : 07.00 – 16.00 WIB

  1. FISIP
  2. FAKULTAS BAHASA DAN SASTRA
  3. FAKULTAS TEKNIK DAN SAINS
  4. FAKULTAS TEKNOLOGI  KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA
  5. FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
  6. FAKULTAS HUKUM
  7. FAKULTAS ILMU KESEHATAN
  8. FAKULTAS BIOLOGI DAN PERTANIAN

Tempat : Auditorium Universitas Nasional