
Oleh: Mochdar Soleman, S.IP., M.Si.
Akademisi Universitas Nasional (UNAS)
Jakarta (UNAS) – Kasus penonaktifan Kepala Sekolah SMAN 1 Cimarga, Lebak, yang menampar siswa karena merokok, kembali membuka perdebatan lama tentang batas antara ketegasan dan kekerasan dalam dunia pendidikan. Pertanyaannya, apakah guru masih memiliki ruang moral untuk mendidik dengan wibawa?
Tamparan yang Menggema
“Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.”
Petuah Ki Hajar Dewantara ini menjadi fondasi etika pendidikan Indonesia—pendidik harus memberi teladan di depan, menjadi penggerak di tengah, dan pendorong di belakang. Namun, semangat itu kini terasa pudar.
Ketika seorang kepala sekolah menegur keras siswa yang melanggar kedisiplinan, sistem justru merespons dengan sanksi administratif. Tindakan tegas dianggap sebagai kekerasan, niat mendidik diterjemahkan sebagai pelanggaran. Di tengah derasnya opini publik dan tekanan birokrasi, pendidikan perlahan kehilangan nilai moralnya dan berubah menjadi sekadar urusan citra serta prosedur.
Saya teringat pengalaman masa SMA. Saat itu, jika kami ketahuan melanggar aturan, termasuk merokok, kami akan dihukum oleh guru atau kepala sekolah. Ada istilah, “ujung rotan adalah emas.” Kami tidak berani mengadu kepada orang tua, sebab yang terjadi justru akan mendapat hukuman tambahan di rumah. Dari situ kami belajar arti tanggung jawab, malu, dan hormat kepada pendidik. Hukuman bukanlah kekerasan, melainkan bagian dari penanaman karakter—karakter yang kini semakin langka.
Ketegasan yang Dikriminalkan
Jika tindakan kepala sekolah SMAN 1 Cimarga dianggap keliru karena menampar siswa, maka niatnya untuk menegakkan kedisiplinan perlu dilihat secara utuh. Kasus ini bukan semata tentang kekerasan, tetapi tentang hilangnya otoritas moral di ruang pendidikan.
Ki Hajar Dewantara mengajarkan bahwa mendidik berarti “menuntun kekuatan kodrat anak agar selamat dan bahagia.” Menuntun membutuhkan arah dan ketegasan, bukan sekadar pengawasan administratif. Sayangnya, dalam sistem pendidikan yang semakin birokratis, ketegasan moral sering dianggap ancaman, bukan nilai.
Guru kini hidup dalam ketakutan: takut viral, takut dilapor, takut salah menegur. Padahal, pendidikan sejati lahir dari keberanian moral untuk berkata benar dan bertindak mendidik, meski tidak populer.
Birokrasi yang Kehilangan Jiwa
Langkah cepat penonaktifan kepala sekolah hanya karena alasan prosedural menunjukkan rapuhnya sistem pendidikan kita. Negara seakan tunduk pada tekanan publik, bukan berpijak pada filosofi pendidikan.
Birokrasi pendidikan kini lebih sibuk mengelola persepsi daripada membangun karakter. Alih-alih menjadi ruang refleksi nilai, sekolah beroperasi di bawah bayang opini sosial yang menekan guru agar patuh, bukan bijak.
Seandainya Ki Hajar masih hidup, mungkin beliau akan menyebut keadaan ini sebagai “pendidikan tanpa jiwa”—pendidikan yang kehilangan rasa karena terlalu sibuk menjaga bentuk.
Solidaritas yang Menyimpang
Aksi mogok 630 siswa SMAN 1 Cimarga menjadi simbol lain dari krisis nilai. Secara sosial, aksi itu tampak sebagai bentuk solidaritas terhadap teman mereka. Namun secara moral, tindakan tersebut membingungkan—mereka membela pelanggaran dan menentang otoritas pendidik. Solidaritas sejati lahir dari kesadaran, bukan emosi kolektif.
Jika sistem pendidikan gagal menanamkan perbedaan antara empati dan pembenaran moral, kita sedang membangun generasi yang pandai membela, tetapi sulit memahami kebenaran.
Ahmad Dahlan dan Disiplin yang Mendidik
Ahmad Dahlan pernah mengajarkan bahwa pendidikan adalah perpaduan kasih dan disiplin. Disiplin tanpa kasih melahirkan ketakutan, sedangkan kasih tanpa disiplin menumbuhkan kelemahan moral. Kepala sekolah Cimarga mungkin keliru dalam cara, tapi tidak dalam semangatnya—ia mendidik dengan ketegasan, bukan dengan kebencian.
Sistem pendidikan semestinya tidak hanya menghukum, tetapi juga memperbaiki. Pendekatan restorative education yang menekankan dialog dan pemulihan relasi perlu dikembangkan agar konflik antara guru dan siswa diselesaikan dengan nilai, bukan sekadar sanksi.
Pendidikan Tanpa Wibawa
Sebagaimana ditegaskan Ki Hajar Dewantara, guru adalah pamong—penjaga kehidupan batin murid. Namun kini, pamong kehilangan wibawa. Guru takut menegur, kepala sekolah takut bersikap, sementara murid tumbuh dengan keyakinan bahwa semua otoritas bisa digugat.
Wibawa pendidikan tidak lahir dari kekuasaan, melainkan dari keteladanan. Dan keteladanan itu tak akan tumbuh di sistem yang mengorbankan nilai demi kepatuhan administratif.
Tamparan untuk Kita Semua
Tamparan Cimarga bukan hanya persoalan individu, tetapi juga tamparan moral bagi bangsa ini. Kita terlalu sibuk menilai bentuk, hingga lupa pada substansi mendidik—menjaga keseimbangan antara ketegasan dan kasih.
Negara perlu menata ulang perspektifnya. Guru memang tidak boleh kebal hukum, tetapi juga tidak boleh kehilangan hak moral untuk mendidik dengan wibawa. Siswa berhak dihormati, tetapi juga wajib belajar menghormati.
Seperti diingatkan Ki Hajar Dewantara, “Pendidikan adalah usaha kebudayaan untuk memajukan budi pekerti, pikiran, dan tubuh anak agar selaras dengan dunianya.”
Kasus Cimarga seharusnya menjadi panggilan untuk mengembalikan pendidikan pada akarnya—mendidik dengan hati, menegakkan nilai, dan menumbuhkan manusia yang beradab, bukan sekadar tertib.(***)
Bagikan :


