Jakarta(UNAS)- FTKI UNAS menyelenggarakan The 1st International Conference on Emerging Trends in Information Systems and Informatics (ICETISI 2025) pada Senin–Selasa, 1–2 Desember. Konferensi internasional yang diinisiasi Fakultas Teknologi Komunikasi dan Informatika (FTKI) ini mempertemukan akademisi, peneliti, dan praktisi dari berbagai negara untuk membahas perkembangan teknologi informasi yang terus bergerak cepat.
Mengusung tema “Transformative AI and Big Data for Sustainable Technological Advancement,” kegiatan ini menegaskan komitmen UNAS dalam memperkuat budaya riset dan jejaring global. Melalui forum ini, UNAS mendorong lahirnya inovasi berbasis teknologi cerdas yang dapat berkontribusi bagi dunia akademik dan industri.
Salah satu sesi yang mendapatkan perhatian besar adalah pemaparan pembicara kunci dari Malaysia, Dr. Chin Vun Jack, B.Eng. (Hons), Ph.D. Dalam presentasinya, ia menekankan pentingnya kecerdasan buatan (AI) dalam meningkatkan keandalan sistem tenaga surya atau solar photovoltaic (solar PV) pada instalasi berskala besar. Topik ini menjadi fokus global seiring meningkatnya kebutuhan energi bersih.
Dr. Chin menjelaskan bahwa energi surya mengalami pertumbuhan pesat secara global. Saat ini, sekitar 3.000 panel surya dipasang setiap menit di berbagai belahan dunia. Jumlah tersebut cukup untuk memasok listrik bagi sekitar 200 rumah tangga. Penurunan harga modul hingga 90 persen dalam sepuluh tahun terakhir turut mendorong percepatan adopsi teknologi solar PV.
Ia menambahkan bahwa dunia mencatat penambahan kapasitas solar PV sebesar 450 gigawatt pada 2023 dan meningkat menjadi 550 gigawatt pada 2024. Kenaikan ini dipengaruhi oleh meningkatnya kebutuhan listrik, urbanisasi, penggunaan kendaraan listrik, serta pertumbuhan pusat data yang diperkirakan akan menggandakan konsumsi daya dalam beberapa tahun ke depan.
Meski bertumbuh cepat, pemanfaatan energi surya di berbagai negara masih belum optimal. Indonesia, misalnya, memiliki potensi energi surya sekitar 3.000 gigawatt, tetapi tingkat pemanfaatannya masih rendah. Menurut Dr. Chin, kondisi ini membuka peluang riset dan kebijakan untuk mempercepat transisi menuju energi hijau.
Pertumbuhan instalasi solar PV juga diikuti tantangan teknis. Panel surya rentan terhadap degradasi akibat suhu tinggi, kelembapan, sinar UV, kontaminan, dan perubahan termal. Di kawasan Asia Tenggara, degradasi panel bahkan ditemukan dua kali lebih cepat dibandingkan negara beriklim subtropis. Hal ini memerlukan strategi operasional dan pemeliharaan yang lebih tepat.
Menurutnya, sebagian besar metode operasi dan pemeliharaan atau operation & maintenance (O&M) masih dilakukan secara manual dan reaktif. Sistem monitoring berbasis perangkat konvensional seperti SCADA belum mampu mendeteksi kerusakan kecil yang terjadi perlahan. “Banyak masalah tidak terdeteksi hanya dengan pengawasan konvensional,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa pemanfaatan AI semakin penting untuk mendukung industri solar PV. Teknologi analitik, pembelajaran mesin, dan pemrosesan data real-time dapat membantu memberikan diagnosis cepat, mendeteksi anomali, dan memprediksi kerusakan. Pendekatan ini diharapkan mampu meningkatkan efisiensi serta umur operasional panel surya.
Melalui ICETISI 2025, UNAS menunjukkan perannya dalam memperkuat kolaborasi lintas negara dan bidang ilmu. Konferensi ini menjadi langkah strategis dalam membangun ekosistem riset global, khususnya pada bidang transformasi digital, energi berkelanjutan, big data, dan kecerdasan buatan sebagai solusi tantangan teknologi masa depan. (VIN)
Bagikan :

