Jakarta (UNAS) – Guru Besar Bidang Ilmu Susastra Umum, Prof. Dr. Sylvie Meiliana Pelawi, M.Hum., menekankan pentingnya dokumentasi budaya guna menjaga martabat sekaligus keberlanjutan kebudayaan. Hal ini menjadi pokok utama dalam orasi ilmiahnya pada Sidang Terbuka Majelis Guru Besar Universitas Nasional (UNAS) yang digelar di Auditorium Cyber Library UNAS, Senin (18/8).
“Dokumentasi budaya adalah upaya menghidupkan makna, menjaga martabat, dan merawat keberlanjutan kebudayaan. Budaya harus dijaga bukan karena kekunoannya, tetapi karena kearifan yang membentuk jati diri dan arah hidup kita,” ujarnya.
Menurut Prof. Sylvie, budaya Indonesia mencerminkan kearifan kolektif sekaligus menjadi fondasi identitas kebangsaan di tengah keberagaman etnis, bahasa, dan kepercayaan. Namun, saat ini budaya lokal menghadapi tantangan serius berupa pergeseran nilai, penyusutan makna, hingga ancaman kepunahan.
“Lemahnya dokumentasi budaya mengancam pelestarian makna dan identitas. Kita kehilangan lebih dari sekadar data, melainkan juga jati diri tanpa adanya pendekatan yang sistematis, partisipatif, dan kontekstual,” tutur dosen Program Studi Sastra Inggris, Fakultas Bahasa dan Sastra UNAS itu.
Ia menambahkan, minimnya dokumentasi terhadap tradisi membuat sejumlah kesenian tradisional kehilangan makna dan rentan terhadap eksploitasi. Oleh karena itu, negara dinilai memiliki peran penting dalam menghadirkan kebijakan dokumentasi budaya yang terstandarisasi, adaptif, dan berpihak pada komunitas pemilik budaya.
Selain kebijakan negara, Prof. Sylvie juga menilai dokumentasi berbasis komunitas dan arsip digital nasional melalui platform digital dapat menjadi langkah efektif untuk mendukung pelestarian.
“Tidak hanya itu, perlu ada perlindungan hukum atas dokumentasi budaya serta integrasi dokumentasi budaya dalam pendidikan formal maupun nonformal. Misalnya melalui sekolah, pesantren, atau pusat belajar komunitas agar generasi muda tumbuh dengan akar budaya yang kuat dan regenerasi budaya berjalan nyata,” imbuhnya.
Prof. Sylvie, yang lahir di Jakarta pada 27 Januari 1957, ditetapkan sebagai Guru Besar Bidang Susastra Umum berdasarkan Keputusan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia No. 1585/M/07/2024 tentang kenaikan jabatan akademik dosen.
“Guru Besar bukanlah tentang gelar semata, melainkan tanggung jawab moral untuk terus belajar dan membagikan ilmu. Saya yakin setiap dosen memiliki potensi besar untuk meraih Guru Besar,” pungkasnya.(NIS).
Bagikan :


