Karimunjawa (UNAS) — Penelitian produk alami kembali mendapat perhatian besar dalam dunia kesehatan global. Hal ini menjadi salah satu fokus utama dalam workshop Center for Botanicals and Chronic Diseases (CBCD) yang berlangsung pada 5–9 Desember 2025 di Pulau Kemojan, Karimunjawa. Kegiatan yang diikuti para akademisi, peneliti, dan mahasiswa dari Indonesia dan luar negeri ini menghadirkan narasumber internasional, Prof. Ilya Raskin, Guru Besar Rutgers University, yang membawakan materi bertajuk “Natural Products and Human Health.”
Paparan Prof. Raskin membuka ruang diskusi mendalam tentang peran penting produk alami dalam kesehatan manusia, mulai dari sejarah penggunaannya hingga peluang masa depan dalam pengembangan pangan fungsional, obat botani, dan terapi berbasis biologi.
Tumbuhan sebagai “Pabrik Kimia” Alami yang Tak Tertandingi
Dalam pemaparannya, Prof. Raskin menekankan bahwa tumbuhan telah lama menyediakan solusi kesehatan bagi manusia, jauh sebelum lahirnya ilmu kedokteran modern. Ia menjelaskan bahwa satu spesies tanaman mampu menghasilkan ribuan senyawa kimia yang terbentuk melalui evolusi jutaan tahun.
“Tumbuhan adalah pabrik kimia paling kompleks yang pernah ada. Kemampuan mereka memproduksi senyawa bioaktif jauh melampaui kapasitas industri kimia apa pun,” ujar Prof. Raskin di hadapan peserta workshop.
Senyawa tersebut tidak hadir secara acak, melainkan terbentuk sebagai respons terhadap lingkungan, patogen, dan kebutuhan bertahan hidup. Inilah yang membuat produk alami kaya akan ketahanan biologis dan potensi terapeutik.
Jejak Pemanfaatan Tumbuhan sejak Prasejarah
Prof. Raskin juga mengutip temuan arkeologis yang memperlihatkan bahwa manusia telah menggunakan tanaman obat sejak lebih dari 50.000 tahun lalu. Pada gigi Neanderthal, ditemukan residu chamomile dan yarrow—dua tanaman obat yang dikenal hingga kini.
Selain itu, daun Cryptocarya woodii yang ditemukan pada situs prasejarah Afrika berusia 77.000 tahun digunakan sebagai alas tidur karena sifatnya yang antinyamuk.
“Sejarah memperlihatkan bahwa insting manusia terhadap tanaman obat muncul jauh sebelum ilmu farmasi terbentuk. Ini adalah petunjuk kuat bahwa tumbuhan selalu memiliki tempat utama dalam kehidupan manusia,” jelasnya.
Peran Besar Indonesia dalam Sejarah Produk Alami
Dalam sesi pemaparannya, Prof. Raskin menyoroti peran penting Indonesia sebagai pusat perdagangan produk alami sejak abad ke-17. Melalui pala dan cengkih, Indonesia memperkenalkan generasi baru senyawa bioaktif kepada dunia dan menjadi pusat industri global berbasis rempah.
Menurutnya, kekayaan flora Indonesia telah membantu membentuk jalur perdagangan yang memengaruhi perkembangan ekonomi, farmasi, hingga politik global.
“Indonesia bukan hanya memiliki biodiversitas tinggi, tetapi juga sejarah panjang yang menempatkan produk alami sebagai komoditas bernilai dunia,” ujar Prof. Raskin.
Aspirin: Contoh Evolusi Pengetahuan dari Alam ke Laboratorium
Prof. Raskin mengajak peserta menelusuri perjalanan aspirin sebagai contoh sempurna bagaimana ilmu modern mengadopsi kearifan alam. Salisilat pada kulit pohon willow telah lama digunakan sebagai obat demam dan nyeri sejak zaman Mesir kuno. Penelitian ilmiah kemudian memurnikan dan mensintesis senyawa tersebut hingga menghasilkan aspirin pada tahun 1899.
Sejak saat itu, obat-obatan dari tumbuhan terus berkembang. Saat ini, sekitar seperempat obat di dunia berasal dari tanaman, termasuk morfin, artemisinin, quinine, digoksin, hingga taksol.
Teknologi Modern Membuka Babak Baru Penelitian Produk Alami
Dengan kemajuan teknologi, penelitian produk alami kini memasuki era baru. Teknologi seperti metabolomik (LC-MS dan NMR), genomik, bioinformatika, hingga rekayasa genetika memungkinkan peneliti mempelajari jalur sintesis metabolit dengan lebih akurat.
“Teknologi memungkinkan kita melihat apa yang sebelumnya tidak terlihat—bagaimana tumbuhan menghasilkan senyawa aktif, bagaimana mereka berevolusi, dan bagaimana kita dapat memanfaatkannya untuk kesehatan manusia,” ujar Prof. Raskin.
Ia juga menyoroti pentingnya CRISPR dan teknologi pengeditan gen untuk memahami jalur biosintesis dan mengembangkan tanaman yang lebih kaya fitokimia.
Dari Obat ke Pencegahan: Pergeseran Fokus Industri Kesehatan
Menurut Prof. Raskin, sejak awal 1990-an industri farmasi mulai meminimalkan riset berbasis produk alami karena keterbatasan dalam high-throughput screening. Namun, perubahan gaya hidup global justru membuka peluang baru.
Kini, fokus riset bergeser ke arah:
- pangan fungsional,
- suplemen kesehatan,
- kosmetik berbahan alami,
- personal nutrition,
- dan produk-produk wellness.
Pendekatan ini muncul karena penyakit kronis seperti diabetes, jantung, dan Alzheimer tidak bisa diatasi hanya dengan satu senyawa aktif. Di sinilah keunggulan tanaman muncul—menghadirkan kombinasi bioaktif yang bekerja secara sinergis.
“Banyak penyakit kronis bersifat kompleks dan memerlukan lebih dari satu molekul. Tumbuhan telah memberikan solusi sebelum kita memahaminya secara ilmiah,” tuturnya.
Tantangan Besar dalam Standardisasi Produk Botani
Meski potensinya besar, Prof. Raskin menyoroti sejumlah tantangan utama produk botani, seperti:
- validasi taksonomi,
- variasi kandungan metabolit,
- risiko kontaminan,
- standar keamanan,
- dan ketidakseragaman ekstraksi.
Bahkan, hingga kini hanya dua obat botani yang berhasil mendapatkan persetujuan FDA.
Menuju Masa Depan Nutrisi Personal dan Pertanian “Berorientasi Kesehatan”
Di bagian akhir, Prof. Raskin menekankan bahwa masa depan produk alami berada pada nutrisi personal dan pertanian yang berorientasi pada kesehatan, bukan sekadar produksi kalori.
“Pertanian masa depan akan menanam kesehatan, bukan hanya pangan. Ini masa depan yang perlu kita sambut dengan riset dan inovasi,” katanya.
Kontribusi Workshop CBCD bagi Ilmu Pengetahuan dan Konservasi
Workshop CBCD yang berlangsung di Karimunjawa tidak hanya menjadi ruang diskusi ilmiah, tetapi juga memperkuat kolaborasi antara universitas anggota, termasuk UNAS, Universitas Pancasila, Universitas Sriwijaya, Rutgers University, dan Avicenna Tajik State Medical University.
Kegiatan ini diharapkan dapat membuka peluang riset bersama, mendorong pemanfaatan biodiversitas Indonesia secara berkelanjutan, serta memperluas pemahaman tentang peran produk alami dalam kesehatan manusia.(AAP)
Bagikan :


